Manusia dijadikan oleh Allah sebagai khalifah di bumi. Hal ini berulang kali dinyatakan oleh-Nya dalam Al-Quran, yang Allah kemukakan di depan para malaikat, yang kemudian menimbulkan kekhawatiran pada diri malaikat itu sendiri akan terjadinya kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi akibat perbuatan manusia, seperti yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah : 30.
Untuk mengantisipasi dan meminimalisir kemungkinan terjadinya apa yang dirisaukan oleh para malaikat, maka Allah menetapkan aturan main bagi manusia dalam mengemban amanah Allah sebagai Khalifah-Nya di dunia ini. Aturan-aturan Allah tersebut, secara sederhana disebut syariah atau hukum Syara’, yang saat ini disebut dengan hukum Islam.
Hukum Islam melingkupi semua segi kehidupan manusia di dunia ini, baik untuk mewujudkan kebahagiaan hidup di dunia, maupun mewujudkan kebahagiaan hidup di akhirat. Segi kehidupan umat manusia yang diatur oleh Allah itu, dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok. Pertama adalah hablun min Allah, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir manusia dengan Allah ( hukum Ibadah ) yang bertujuan untuk menjaga hubungan antara Allah dengan hamba-Nya. Kedua adalah hablun min al-nas, yaitu hubungan antar manusia dan alam sekitarnya ( hukum muamalat ) yang nbertujuan untuk menjaga hubungan antar manusia dengan alam sekitarnya.
Salah satu aspek yang termuat dalam hukum muamalat ialah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Dalam hal ini, Allah menjelaskan secara rinci mengenai pembagian harta warisan, baik dari kadar harta yang akan diwariskan ( furudhul muqaddarah ) maupun orang-orang yang berhak mendapatkan harta waris sesuai dengan furudhul muqaddarah yang telah Allah tentukan ( dzawil furudh ). Selain itu, terdapat pula persoalan mengenai ahli waris yang tidak disebutkan secara jelas kadar harta waris yang bisa diperolehnya, yang kemudian, para ahli waris tersebut dinamakan dengan dzawil ashabah dan dzawil arham.
Dari sedikit penjelasan tentang furudhul muqaddarah, dzawil furudh, dzawil ashabah, dan dzawil arham seperti yang telah dikemukakan di atas, pembahasan dalam makalah ini akan diawali dengan bahasan tentang furudhul muqaddarah, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan tentang dzawil furudh dan dzawil ashabah, yang kemudian diakhiri dengan pembahasan mengenai dzawil arham.


PEMBAGIAN HARTA WARIS DALAM ISLAM

A.Furudhul Muqaddarah

Furudhul muqaddarah adalah kadar warisan bagi setiap ahli waris. Dalam pengertian lain, furudhul muqaddarah adalah bagian yang telah ditetapkan yang membicarakan angka-yang tidak memerlukan interpretasi lebih lanjut, didasarkan pada ayat yang bersifat qath’i sehingga akal tidak perlu digunakan untuk melakukan interpretasi lebih lanjut. Penjelasan secara jelas dan terperinci mengenai furudhul muqaddarah terdapat dalam QS. An-Nisa’ [ 4 ] : 11 dan 12 yang berbunyi sebagai berikut :

Artinya : “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 12 Artinya : “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.”



Berdasarkan ayat-ayat tersebut, kadar kewarisan (furudhul muqaddarah ) dalam Islam telah Allah tetapkan dengan angka-angka yang pasti, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6 serta ayat-ayat tersebut pun menyebutkan pula orang yang memperoleh harta warisan menurut angka-angka tersebut ( Dzawil Furudh ).

B.Dzawil Furudh
Seperti yang telah dipaparkan secara jelas dan terperinci dalam QS. An-Nisa’ : 11 dan 12, bahwa Allah SWT telah menentukan kadar kewarisan serta orang-orang yang memperoleh harta warisan menurut kadar tersebut. Mereka yang telah disebutkan oleh Allah dalam ayat tersebut dinamakan sebagai Dzawil Furudh.
Dalam Kitab Fiqh Sunnah Jilid 14, yang dimaksud Dzawil Furudh adalah mereka yang mempunyai bagian dari keenam bagian yang telah ditentukan bagi mereka, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6.
Berikut ini penjelasan tentang dzawil furudh seperti yang telah dipaparkan dalam QS. An-Nisa’ : 11 dan 12 :

1.Furudh 1/2
Ahli waris yang memperoleh furudh ini antara lain :
Suami, jika pewaris tidak meninggalkan anak atau keturunan, atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, baik dari dirinya maupun dari suami yang lain. Hal ini berdasarkan QS. An-Nisa’ : 12.
Anak perempuan, bila ia hanya seorang diri saja serta tidak bersama-sama dengan saudara laki-laki. Hal ini berdasarkan QS. An-Nisa’ : 11.
Cucu perempuan dari anak laki-laki, bila ia hanya seorang diri, tidak bersama dengan saudara laki-laki yang mendapat ashabah, yaitu cucu laki-laki dari anak laki-laki, serta tidak ada anak perempuan kandung dan anak laki-laki.
Saudara perempuan seibu-seayah, bila ia hanya seorang diri, tidak bersama-sama dengan saudara laki-laki yang mendapat bagian ashabah, yaitu saudara laki-laki seibu-seayah, serta si pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, juga tidak mempunyai anak, baik laki-laki maupu perempuan.
Saudara perempuan seayah, bila ia hanya seorang diri, tidak bersama-sama dengan saudara laki-laki seayah, tidak bersama-sama dengan saudara perempuan kandung, serta si pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, juga tidak mempunyai anak, baik laki-laki maupun perempuan.
2.Furudh 1/4
Ahli waris yang memperoleh furudh ini antara lain :
Suami, bila pewaris ( istri ) meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki, baik dari dirinya sendiri maupun dari suaminya yang lain.
Istri, bila pewaris ( suami ) tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki, dari istrinya yang manapun.
3.Furudh 1/8
Ahli waris yang memperoleh furudh ini antara lain :
Istri atau beberapa istri, bila pewaris ( suami ) meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki, dari istrinya yang manapun.
4.Furudh 1/6
Ahli waris yang memperoleh furudh ini antara lain :
Ayah, bila pewaris ( istri ) meninggalkan anak, baik laki-laki maupun perempuan.
Kakek ( ayah dari ayah ), bila pewaris tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki.
Ibu, bila pewaris meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki serta bila pewaris mempunyai dua saudara atau lebih secara umum.
Cucu perempuan dari anak laki-laki, baik seorang maupun lebih, bila pewaris meninggalkan seorang anak perempuan.
Saudara-saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan, bila seorang diri.
Nenek, dari pihak ayah maupun pihak ibu, bila pewaris tidak meninggalkan ibu.

5.Furudh 1/3
Ahli waris yang memperoleh furudh ini antara lain :
Ibu, bila ia mewarisi bersama ayah dan si pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki serta saudara.
Saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan, bila si pewaris adalah kalalah serta jumlah saudara dua orang atau lebih.

6.Furudh 2/3
Ahli waris yang memperoleh furudh ini antara lain :
Dua anak perempuan atau lebih, bila tidak bersama dengan saudara laki-lakinya, yaitu anak laki-laki si pewaris.
Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, bila tidak ada anak si pewaris, tidak ada dua anak perempuan, dan tidak bersama dengan saudara laki-laki yang mendapat bagian ashabah, yaitu cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Dua saudara perempuan atau lebih yang sekandung, bila tidak ada anak, ayah, atau kakek, tidak ada laki-laki yang mendapat bagian ashabah, yaitu saudara laki-laki sekandung, serta tidak ada anak-anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, baik satu orang maupun lebih.
Dua saudara perempuan atau lebih yang seayah, bila tidak ada anak laki-laki, ayah, atau kakek, tidak ada laki-laki yang mendapat bagian ashabah, yaitu saudara laki-laki seayah, serta tidak ada anak-anak perempuan atau cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki, atau saudara laki-laki sekandung atau saudara perempuan sekandung.

C.Dzawil Ashabah

1.Pengertian Ashabah
Pengertian ashabah secara bahasa adalah kerabat laki-laki dari ayah atau anak turun dan kerabat seorang lelaki dari fihak ayah . Mereka dinamakan ashabah karena kuatnya ikatan antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Sedangkan pengertian ashabah dari segi istilah adalah setiap ahli waris yang tidak mendapat bagian tertentu yang dijelaskan dalam Al-Quran atau hadits . Dalam pengertian lain, ashabah adalah mereka yang mendapatkan sisa sesudah ashhabul furudh mengambil bagian-bagian yang ditentukan bagi mereka atau mereka yang berhak atas semua peninggalan bila tidak didapatkan seorang pun di antara ashhabul furudh .
2.Dasar Hukum Kewarisan Ashabah
Kewarisan ahli waris ashabah diatur dalam Al-Quran dan hadits. Berdasarkan Al-Quran, ketentuan kewarisan ashabah diatur dalam QS. An-Nisa’ : 11, dimana dijelaskan bagian untuk ayah dan ibu apabila ada anak-anak, masing-masing dari mereka ( ayah-ibu ) mendapat bagian 1/6. Namun, apabila si pewaris tidak meninggallkan anak-anak, maka harrtanya akan diwarisi oleh ayah dan ibunya. Al-Quran telah menjelaskan bahwa bagian ibu adalah 1/3, namun tidak menyebutkan bagian ayah. Dengan demikian, sekalipun tidak disebutkan dalam Al-Quran, bagian ayah adalah sisanya, yaitu 2/3. Sementara itu, berdasarkan hadits Nabi SAW disandarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagaimana berbunyi sebagai berikut :
“Berikanlah bagian-bagian yang telah ditentukan itu kepada pemiliknya yang berhak menurut nash; dan apa yang tersisa maka berikanlah kepada ashabah yaitu laki-laki yang terdekat kepada si mayit.” ( HR. Bukhari ).
Menurut Ibnu ‘Abbas, apabila mayit meninggalkan seorang anak perempuan, seorang saudara perempuan dan seorang saudara laki-laki, maka bagian dari anak perempuan itu adalah 1/2, dan sisanya untuk saudara laki-laki, sedangkan seorang saudara perempuannya itu tidak mendapatkan bagian sama sekali.
3.Pembagian Ashabah
Kewarisan ashabah dibagi menjadi dua bagian, yaitu ashabah sababiyah dan ashabah nasabiyah. Ashabah sababiyah adalah ashabah karena sebab, yaitu seorang tuan yang memerdekakan hambanya berhak mendapatkan warisan dari peninggalan hamba yang dimerdekakannya, apabila tidak ada ahli waris dari keturunannya. Seorang tuan mendapatkan warisan dari orang yang dimerdekakannya adalah sebagai balasan atas kebaikannya kepada bekas hambanya. Sementara itu, ashabah nasabiyah adalah ashabah karena faktor keturunan.
4.Macam-Macam Ashabah menurut Garis Keturunan (ashabah nasabiyah )
Ashabah nasabiyah dibagi ke dalam 3 golongan, yaitu :

a.Ashabah binafsi ( ashabah dengan sendirinya )
Ashabah binafsi adalah laki-laki yang nasabnya dengan si pewaris tidak diselingi oleh perempuan. Bagian ini mempunyai empat golongan, yaitu :
Golongan keturunan anak ke bawah ( bunuwwah ), seperti : anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan seterusnya.
Golongan keturunan ayah ke atas ( ubuwwah ), seperti : bapak, kakek dari bapak, dan seterusnya ke atas. Golongan ini akan mendapatkan sisa harta yang diwaris jika bunuwwah tidak didapatkan.
Golongan keturunan saudara terus ke samping ( ukhuwwah ), seperti saudara laki-laki seibu seayah, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara seibu seayah, dan anak laki-laki dari saudara seayah, dan seterusnya. Golongan keturunan saudara terbatas kepada saudara laki-laki seibu seayah dan saudara laki-laki seayah serta keturunan laki-laki dari mereka. Sedangkan saudara laki-laki seibu adalah ahli waris yang mendapat bagian tertentu, tidak mendapat bagian ashabah karena mereka melalui garis keturunan ibu.
Golongan keturunan paman dari ayah ( ‘umuumah ), seperti paman seibu seayah dari ayah, paman seayah dari ayah, kemudian anak laki-laki dari paman seibu seayah dengan ayah anak laki-laki dari paman seayah dengan ayah.
Keempat golongan di atas berlaku secara berurutan. Jadi, warisan ashabah dari golongan bunuwwah lebih didahulukan daripada warisan ashabah dari golongan ubuwwah, begitu juga seterusnya.
Akan tetapi, jika terdapat sejumlah orang dari satu tingkatan, maka yang paling berhak untuk mendapatkan warisan adalah mereka yang paling dekat dengan si pewaris. Bila terdapat sejumlah orang yang sama hubungan nasabnya dengan si pewaris, berasal dari satu golongan dan berada pada satu tingkatan, maka yang paling diprioritaskan adalah pewaris ashabah yang hubungan kerabatnya lebih kuat .

b.Ashabah bighair ( ashabah dikarenakan orang lain )
Ashabah bighair adalah perempuan yang bagiannya 1/2 dalam keadaan sendirian, dan 2/3 bila bersama dengan seorang atau beberapa saudara perempuannya. Apabila bersama perempuan atau perempuan-perempuan itu terdapat seorang saudara laki-laki, maka di saat itu mereka semuanya menjadi ashabah. Mereka yang menjadi ashabah bighair itu ada empat :
Seorang anak perempuan atau lebih. Ia menjadi ashabah bersama-sama dengan saudara laki-lakinya.
Seorang anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki.
Seorang saudara perempuan atau lebih yang sekandung.
Saudara perempuan seayah.

c.Ashabah ma’a ghair
Ashabah ma’a ghair ialah setiap perempuan yang memerlukan perempuan lain untuk menjadi ashabah. Ashabah ma’a ghair ini hanya terbatas pada dua golongan dari perempuan, yaitu :
Saudara perempuan sekandung, baik seorang atau lebih, bersama dengan seorang anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki.
Saudara perempua seayah, baik seorang atau lebih, bersama dengan seorang anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki.


D.Dzawil Arham

1.Pengertian Dzawil Arham
Dzawil Arham adalah setiap kerabat yang bukan dzawil furudh maupun dzawil ashabah. Kata arham merupakan bentuk jamak dari rahim, yang menurut bahasa berarti tempat menetap janin di dalam perut ibunya. Kemudian, pengertian yang berlaku adalah suatu hubungan kekerabatan secara umum, baik hubungan kerabat melalui ayah maupun melalui ibu, karena kata rahim mengandung dua arti tersebut.
Secara umum, Dzawil arham adalah orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pewaris atau merupakan kerabat pewaris yang tidak mendapat bagian tertentu, baik dalam Al-Quran maupun hadits, juga bukan merupakan ahli waris yang mendapat bagian sisa.

2.Dasar Hukum Kewarisan Dzawil Arham
Dasar hukum mengenai hal ini terdapat dalam QS. Al-Anfal [ 8 ] : 75 yang artinya : “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

3.Empat Golongan Dzawil Arham
Empat golongan yang dimaksud adalah :
Orang-orang yang memiliki keturunan dengan pewaris, yaitu :
•Keturunan dari anak –anak perempuan pewaris dan seterusnya ke bawah, baik laki-laki maupun perempuan.
•Keturunan dari cucu perempuan dari anak laki-laki maupun perempuan.
Orang-orang yang memiliki keturunan dengan pewaris, yaitu :
•Kakek yang tidak sah dan seterusnya ke atas, seperti bapaknya ibu, dan kakek dari bapaknya ibu.
•Nenek yang tidak sah dan seterusnya ke atas, seperti nenek dari bapaknya ibu dan ibunya nenek dari bapaknya ibu.
Orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan ayah dan ibu pewaris, yaitu :
•Anak-anak dari saudara-saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
•Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung, seayah atau seibu, dan anak-anak perempuan mereka, dan seterusnya sampai ke bawah.
•Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu dan anak-anak mereka sampai terus ke bawah seperti anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, cucu laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seibu, atau cucu perempuan dari anak laki-lakli saudara laki-laki seibu.
Orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan kedua kakek atau kedua nenek pewaris, baik dari pihak ayahnya maupun pihak ibunya, yaitu :
•Saudara laki-laki dan saudara perempuan ( dari ayah ) pewaris, Saudara laki-laki dan saudara perempuan ( dari ibu ) pewaris, baik yang sekandung, seayah saja, maupun seibu saja.
•Anak-anak bibi ( saudara ayah ), paman ( saudara ibu ), bibi( saudara ibu ), dan anak-anak paman yang seibu, dan seterusnya.
•Saudara Perempuan ( saudara ayah ) dari ayah si pewaris secara umum, begitu juga saudara laki-laki dan saudara perempuan ( saudara ibu ) dari ibu si pewaris, baik sekandung maupun seayah.
•Anak-anak dari bibi-bibi dan paman-paman dari ayah si pewaris dan seterusnya ke bawah, seperti anak laki-laki dari bibinya ayah dan anak perempuan dari bibinya ayah.
•Pamannya kakek dari ibu, pamannya nenek, paman, dan bibi dari ibu serta bibi / saudara ayah dari kakek atau nenek.
•Anak-anak dari orang-orang yang disebutkan pada poin sebelumnya.

KESIMPULAN

Pembagian harta waris sesuai dengan yang telah Allah tentukan, merupakan suatu keharusan yang harus dipenuhi oleh umat Islam agar kemungkinan-kemungkinan terjadinya perselisihan antar sesama ahli waris akibat pambagian harta ini dapat dihindari. Untuk itu, dalam rangka mewujudkan hal tersebut, maka kesadaran akan pentingnya mempelajari ilmu mawaris dalam kehidupan umat Islam agar mampu dipahami dan diaplikasikan perlu untuk dikembangkan serta pandangan-pandangan negatif mengenai sulitnya mempelajari dan memahami ilmu mawaris perlu untuk dihindarkan.
Memutuskan suatu persoalan dalam waris dengan jalan merujuk kepada Al-Quran dan hadits, selain dapat menghindarkan perselisihan, secara tidak langsung juga telah menerapkan aturan Allah, suatu aturan yang bernilai ibadah, sehingga para pelakunya berpeluang besar untuk mendapatkan pahala dari Allah serta petunjuk-Nya di dalam setiap aktifitas yang mereka lakukan.
Maka dari itu, menerapkan aturan-aturan Allah mengenai kewarisan dapat memberikan kemudahan bagi manusia untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat.

0 komentar:

Link Partner

yuyu