ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM

PENDAHULUAN
Hukum Kewarisan Islam atau yang lazim disebut Faraid dalam literatur Hukum Islam adalah salah satu bagian dari keseluruhan Hukum Islam yang mengatur peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup.
Sebagai hukum agama yang bersumber kepada wahyu Allah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW, Hukum Kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula dalam hukum kewarisan yang bersumber dari akal manusia. Di samping itu, Hukum Kewarisan Islam dalam hal tertentu mempunyai corak tersendiri, berbeda dengan hukum kewarisan yang lain. Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari Hukum Kewarisan Islam itu sendiri.
Hukum Kewarisan Islam digali dari keseluruhan ayat hukum dalam Al-Quran dan penjelasan tambahan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sunnahnya.
Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan 5 asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima, dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas-asas tersebut di antaranya adalah asas Ijbari, asas Bilateral, asas Individual, asas Keadilan Berimbang, dan asas Semata Akibat Kematian.


BAB II
ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN DALAM ISLAM

Seperti yang telah dikemukakan pada BAB Pendahuluan bahwa terdapat 5 asas dalam proses peralihan harta waris dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup. Kelima asas tersebut adalah asas Ijbari, asas Bilateral, asas Individual, asas Keadilan Berimbang, dan asas Semata karena Kematian yang akan dijelaskan dalam penjelasan di bawah ini.

1. Asas Ijbari
Dalam Hukum Islam, peralihan harta dari orang yang telah menninggal pada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. Cara peralihan seperti ini di sebut secara Ijbari.
Secara leksikal, kata Ijbari mengandung arti “paksaan”, yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Pengertian wali mujbir dalam terminologi fiqih munakahat mengandung arti si wali dapat mengawinkan anak gadisnya di luar kehendak anak gadisnya itu dan tanpa memerlukan persetujuan dari anak yang akan dikawininya itu. Begitu pula kata Jabari dalam terminologi ilmu kalam mengandung arti paksaan, dengan arti semua perbuatan yang dilakukan oleh seorang hamba, bukanlah atas kehendak dari hamba tersebut, tetapi adalah sebab kehendak dan kekuasaan Allah SWT sebagaimana yang berlaku menurut aliran Jabariyah.
Dijalankannya asas Ijbari dalam Hukum Kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris ataupun permintaan dari ahli warisnya. Unsur paksaan sesuai dengan arti terminologi tersebut terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan perpindahan harta kepada dirinya sesuai dengan yang telah ditentukan. Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut hukum perdata ( BW ) yang peralihan harta warisan tergantung kepada kemauan pewaris serta kehendak dan kerelaan ahli waris yang akan menerima, tidak berlaku dengan sendirinya.
Adanya unsur Ijbari dalam unsur Kewarisan Islam tidak akan memberatkan orang yang akan menerima waris, karena menurut ketentuan Hukum Islam ahli waris hanya berhak menerima harta yang ditinggalkan dan tidak berkewajiban memikul hutang yang ditinggalkan oleh pewaris. Kewajiban hanya sekedar menolong membayarkan hutang pewaris dengan harta yang ditinggalkannya dan tidak berkewajiban melunasi hutang itu dengan hartanya sendiri. Dalam BW diberikan kemungkinan untuk tidak menerima harta kewarisan, karena menerima akan membawa akibat menanggung resiko untuk melunasi hutang pewaris.
Ijbari dari segi pewaris mengandung arti bahwa sebelum meninggal ia tidak dapat menolak peralihan harta tersebut. Apapun kemauan pewaris tetrhadap hartanya, maka kemauannya itu dibatasi oleh ketentuan yang telah ditetapkan Allah. Oleh karena itu, sebelum meninggal ia tidak perlu memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap hartanya, karena dengan kematiannya itu secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya, baik ahli waris itu suka ataupun tidak suka.
Adanya asas Ijbari dalam Hukum Kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu dari segi peralihan harta, dari segi jumlah harta yang beralih, dan dari segi penerima peralihan harta.
a. Segi Peralihan Harta
Unsur Ijbari dari segi peralihan mengandung arti bahwa harta orang yang meninggal itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan oleh siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT. Oleh karena itu, Kewarisan dalam Islam diartikan dengan peralihan harta, bukan pengalihan harta. Karena dalam peralihan berarti beralih dengan sendirinya. Sedangkan dalam pengalihan berarti nampak usaha seseorang. Asas Ijbari dalam peralihan ini dapat dilihat dari firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa’ [ 4 ] : 7 yang berbunyi sebagai berikut :

Ayat ini menjelaskan bahwa bagi seorang laki-laki maupun perempuan ada “nasib” dari harta peninggalan orang tua dan karib kerabat. Harta nasib berarti bagian, saham, atau jatah dalam bentuk sesuatu yang diterima dari pihak lain. Dari kata nasib itu dapat dipahami bahwa dalam jumlah harta yang ditinggalkan si pewaris, disadari atau tidak telah terdapat hak bagi ahli waris. Dalam hal ini, pewaris tidak perlu menjanjikan sesuatu sebelum ia meninggal, begitu pula ahli waris tidak perlu meminta haknya.

b. Segi Jumlah Harta yang Beralih
Bentuk Ijbari dari segi jumlah harta yang beralih berarti bahwa bagian atau hak ahli waris dalam harta warisan sudah jelas telah ditentukan oleh Allah SWT, sehingga pewaris maupun ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau mengurangi apa yang telah ditentukan itu. Setiap pihak terikat pada apa yang telah ditentukan itu. Adanya unsur Ijbari dari segi jumlah itu dapat dilihat dari kata mafrudan yang secara etimologi berarti “telah ditentukan atau telah diperhitungkan.” Kata-kata tersebut dalam terminologi ilmu fiqh berarti sesuatu yang telah diwajibkan Allah SWT kepada hamba-Nya. Dengan menggabungkan kedua kemungkinan pengertian itu, maka maksudnya ialah : sudah ditentukan jumlahnya dan harus dilakukan sedemikian rupa, mengikat dan memaksa.

c. Segi Penerima Peralihan Harta
Bentuk Ijbari dari segi penerima peralihan harta itu berarti bahwa mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti, sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusiapun yang dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak. Adanya unsur Ijbari dapat dipahami dari kelompok ahli waris sebagaimana disebutkan Allah SWT dalam QS. An-Nisa’ : 11, 12, 13, dan 176.

2.Asas Bilateral
Membicarakan asas ini, berarti membicarakan tentang kemana arah peralihan harta itu dikalangan ahli waris. Asas Bilateral dalam kewarisan mengandung arti bahwa harta warisan melalui 2 arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima kewarisan dari kedua belah pihak garis kekerabatan, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.
Asas Bilateral ini dapat secara nyata dilihat dalam firman Allah dalam QS. An-Nisa’ : 7, 11, 12, dan 176. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang perempuan berhak menerima harta warisan dari piahk ayahnya dan juga dari pihak ibunya. Ayat ini merupakan dasar dari kewarisan Bilateral itu. Secara terperinci, asas Bilateral itu dapat dipahami dalam ayat-ayat selanjutnya :

a.Dalam Ayat 11 dijelaskan :
Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan perbandingan seorang anak laki-laki menerima sebanyak yang didapat oleh dua orang anak perempuan.
Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Begitu pula ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak menerima waris dari anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan.

b.Dalam Ayat 12 dijelaskan :
Bila pewaris adalah seorang anak laki-laki yang tidak memiliki pewaris langsung ( anak atau ayah ), maka saudara laki-laki dan perempuan berhak menerima bagian dari harta tersebut.
Bila pewaris adalah seorang perempuan yang tidak memiliki pewaris langsung ( anak atau ayah ), maka saudara yang laki-laki dan perempuannya berhak menerima harta tersebut.

c.Dalam Ayat 176 dijelaskan :
Seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan ( ke atas dan ke bawah ), sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki dan perempuan, maka saudara-saudaranya itu berhak menerima warisannya.
Seorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan ( ke atas dan ke bawah ), sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki dan perempuan, maka saudara-saudaranya itu berhak menerima warisannya.
Dari tiga ayat yang telah dikemukakan di atas, terlihat secara jelas bahwa kewarisan itu beralih ke bawah ( anak-anak ), ke atas ( ayah dan ibu ), ke samping ( saudara-saudara ) dari kedua belah pihak garis keluarga, yaitu laki-laki dan perempuan yang menerima warisan dari kedua garis keluarga, yaitu dari garis laki-laki dan garis perempuan. Inilah yang dinamakan kewarisan secara bilateral.

3.Asas Individual
Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi; kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing.
Setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa tergantung dan terikat dengan ahli waris yang lain. Hal ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban, yang di dalam ushul fiqh disebut “ahliyat al-wujub”. Dalam pengertian ini, setiap ahli waris berhak menuntut secara sendiri-sendiri harta warisan itu dan berhak pula untuk tidak berbuat demikian.
Sifat individual dalam kewarisan itu dapat dilihat dari aturan-aturan Al-Quran yang menyangkut pembagian harta warisan itu sendiri. Ayat 7 surat An-Nisa’ secara garis besar menjelaskan bahwa laki-laki maupun perempuan berhak menerima warisan dari orang tua dan karib kerabatnya, terlepas dari jumlah harta tersebut, dengan bagian yang telah ditentukan.
Ayat 11, 12, dan 176 surat an-Nisa’ menjelaskan secara terperinci hak masing-masing ahli waris secara individual menurut bagian tetrtentu dan pasti. Dalam bentuk yang tidak tertentu seperti anak laki-laki bersama dengan perempuan dalam surat an-Nisa’ ayat 11 atau saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat 176, dijelaskan juga perimbangan pembagiannya yaitu bagian laki-laki banyaknya sama dengan dua bagian perempuan. Dari perimbangan yang dinyatakan itu akan jelas pula bagian masing-masing ahli waris.
Pembagian secara individual ini adalah ketentuan yang mengikat dan wajib dijalankan oleh setiap muslim dengan sanksi berat di akhirat bagi yang melanggarnya, sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 13 dan 14.
Bila telah terlaksana pembagian secara terpisah untu setiap ahli waris, maka untuk seterusnya ahli waris memiliki hak penuh untuk menggunakan harta tersebut. Walaupun dibalik kebebasan menggunakan harta tersebut terdapat ketentuan lain yang dalam kaidah ushul fiqh disebut “ahliyat al-ada’.”

4.Asas Keadilan Berimbang
Kata ‘adil’ merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata al-adlu. Dalam Al-Quran, kata al-adlu atau turunannya disebutkan lebih dari 28 kali. Sebagian di antaranya diturunkan Allah dalam bentuk kalimat perintah dan sebagian dalam bentuk kalimat berita. Kata al-‘adlu itu dikemukakan dalam konteks yang berbeda dan arah yang berbeda pula. Sehingga, akan memberikan definisi yang berbeda sesuai dengan konteks dan tujuan penggunannya.
Dalam hubungannya dengan hak yang menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan kewarisan, kata tersebut dapat diartikan sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.
Atas dasar pengertian di atas, terlihat asas keadilan dalam pembagian harta warisan dalam Hukum Islam. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Artinya sebagaimana pria, wanita pun mendapat hak yang sama kuatnya untuk mendapatkan warisan. Hal ini secara jelas disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 7 yang menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hak mendapatkan kewarisan. Sementara itu, dalam ayat 11, 12, dan 176 surat yang sama dijelaskan kesamaan kekuatan hak menerima warisan antara anak laki-lalki dan anak perempuan, ayah dan ibu ( ayat 11 ), suami dan istri ( ayat 12 ), saudara laki-laki dan saudara perempuan ( ayat 12 dan 176 ).
Tentang jumlah bagian yang didapat oleh laki-laki maupun perempuan terdapat dua bentuk, yaitu :
a.Laki-laki mendapat jumlah yang sama banyaknya dengan perempuan; seperti ibu dan ayah yang sama-sama mendapat 1/6 dalam keadaan pewaris meninggalkan anak kandung, begitu pula saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu yang sama-sama mendapat 1/6 dalam kasus pewaris adalah seorang kalalah sebagaimana yang tercantum dalam surat an-Nisa’ ayat 12.
b.Laki-laki memperoleh bagian lebih banyak atau dua kali lipat dari yang didapat oleh perempuan dalam kasus yang sama yaitu anak laki-laki dengan anak perempuan dalam ayat 11, dan saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung dan seayah dalam ayat 176. Dalam kasus yang terpisah, duda mendapat dua kali bagian yang didapat oleh janda yaitu 1/2:1/4 bila pewaris tidak meninggalkan anak; dan 1/4 : 1/8 bila bila pewaris meninggalkan anak sebagaimana tersebut dalam surat an-Nisa’ ayat 12.
Ditinjau dari segi jumlah bagian yang didapat saat menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti tidak adil, sebab keadilan dalam Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris, tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan.
Secara umum, dapat dikatakan laki-laki membutuhkan lebih abnyak materi dibandingkan dengan perempuan. Hal tersebut dikarenakan laki-laki ( dalam Islam ) memikul kewajiban ganda, yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya, termasuk di dalamnya adalah para perempuan. Bila jumlah yang diterima dihubungkan dengan kewajiban dan tanggung jawab seperti yang telah disebutkan di atas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang akan dirasakan laki-laki sama dengan apa yang dirasakan oleh perempuan. Meskipun pada mulanya laki-laki menerima dua kali lipat dari begian perempuan, namun sebagian dari yang diterima akan diberikannya kepada wanita dalam kapasitasnya sebagai pembimbing yang bertanggung jawab. Inilah keadilan dalam konsep Islam.

5.Asas Semata Akibat Kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung, maupun terlaksana setelah dia mati, tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut Hukum Islam. Dengan demikian Hukum Kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata atau yang dalam Hukum Perdata atau BW disebut dengan kewarisan ab intestato dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada waktu masih hidup yang disebut kewarisan bij testament.

Demikianlah Asas Hukum Kewarisan Islam yang menujukkan karakteristik dari kewarisan dalam Hukum Islam. Dari asas-asas tersebut dapat ditarik perbedaan antara Hukum Islam dengan sistem kewarisan lain, meskipun terlihat beberapa titik kesamaan.

BAB III
KESIMPULAN

Pelaksanaan waris dalam Islam memiliki beberapa asas tertentu yang menjadikan Hukum Waris Islam berbeda dengan pelaksanaan waris lainnya. Kelima asas tersebut memperlihatkan perbedaan yang signifikan dalam pembagian harta waris di Islam dengan yang lainnya serta membuat pembagian harta waris dalam Islam jauh lebih adil apabila dijalankan menurut kelima asas tersebut bila dibandingkan dengan pembagian harta waris yang tidak menggunakan aturan-aturan Islam sebagai rujukannya.
Dari pemaparan yang telah dijelaskan dalam bagian pembahasan, terdapat 5 asas dalam pelaksanaan Kewarisan Islam yaitu asas Ijbari, asas Bilateral, asas Individual, asas Keadilan Berimbang, dan asas Semata Akibat Kematian. Semua asas tersebut tidaklah terlepas dari nash-nash yang terdapat dalam Al-Quran dan sunnah-sunnah Rasulullah yang memperjelas ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan waris serta merujuk kepada beberapa hasil ijtihad para ulama’ mengenai pembagian harta waris dalam Islam. Sehingga, pada intinya, pembagian harta waris haruslah dilakukan dengan merujuk kepada sumber-sumber Hukum Islam agar pembagiannya tidak menimbulkan perpecahan.

0 komentar:

Link Partner

yuyu